Hukum perikatan adalah hubungan hukum antara dua orang atau lebih
yang terletak di dalam bidang harta kekayaan di mana pihak yang satu
berhak atas suatu prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi suatu
prestasi.
B. Unsur-unsur perikatan
- Hubungan hukum (legal relationship)
- Pihak-pihak yaitu 2 atau lebih pihak (parties)
- Harta kekayaan (patrimonial)
- Prestasi (performance)
Ad. 1. Hubungan hukum
- Hubungan yang diatur oleh hukum;
- Hubungan yang di dalamnya terdapat hak di satu pihak dan kewajiban di lain pihak;
- Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban, dapat dituntut pemenuhannya
Hubungan hukum dapat terjadi karena :
- Kehendak pihak-pihak (persetujuan/perjanjian)
- Sebagai perintah peraturan perUUan
Dasar hukum Pasal 1233 KUHPdt “tiap-iapt perikatan dilahirkan karena persetujuan baik karena UU”.
Contoh A berjanji menjual sepeda motor kepada B Akibat dari janji, A
wajib menyerahkan sepeda miliknya kepada B dan berhak menuntut harganya
sedangkan B wajib menyerahkan harga sepeda motor itu dan berhak untuk
menuntut penyerahan sepeda.
Dalam contoh diatas apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban
maka hukum “memaksakan” agar kewajiban-kewajiban tadi dipenuhi.
Perlu dicatat tidak semua hubungan hukum dapat disebut perikatan.
Contoh kewajiban orang tua untuk mengurus anaknya bukanlah kewajiban
dalam pengertian perikatan.
Artinya adalah setiap hubungan hukum yang tidak membawa pengaruh
terhadap pemenuhan kewajiban yang bersumber dari harta kekayaan pihak
yang berkewajiban tidaklah masuk dalam pengertian dan ruang lingkup
batasan hukum perikatan.
Ad. 2. Pihak-pihak (subjek perikatan)
- Debitur adalah pihak yang wajib melakukan suatu prestasi atau Pihak yang memiliki utang (kewajiban)
- Kreditur adalah Pihak yang berhak menuntut pemenuhan suatu prestasi atau pihak yang memiliki piutang (hak)
Pihak-pihak (debitur kreditur) tidak harus “orang” tapi juga dapat
berbentuk “badan”, sepanjang ia cakap melakukan perbuatan hukum.
Pihak-pihak (debitur kreditur) dalam perikatan dapat diganti. Dalam
hal penggantian debitur harus sepengatahuan dan persetujuan kreditur,
untuk itu debitur harus dikenal oleh kreditur agar gampang menagihnya
misalnya pengambilalihan hutang (schuldoverneming) sedangkan penggantian
kreditur dapat terjadi secara sepihak.
Seorang kreditur mungkin pula mengalihkan haknya atas prestasi kepada
kreditur baru, hak mana adalah merupakan hak-hak pribadi yang
kwalitatif (kwalitatiev persoonlijke recht), misalnya A menjual sebuah
mobil kepada B, mobil mana telah diasuransikan kepada perusahaan
asuransi. Dengan terjadinya peralihan hak milik dari A kepada B maka B
sekaligus pada saat yang sama B mengambil alih juga hak asuransi yang
telah melekat pada mobil tersebut. Perikatan yang demikian dinamakan
perikatan kwalitatif dan hak yang terjadi dari perikatan demikian
dinamakan hak kwalitatif.
Selanjutnya seorang debitur dapat terjadi karena perikatan kwalitatif
sehingga kewajiban memenuhi prestasi dari debitur dinamakan kewajiban
kwalitatif, misalnya seorang pemilik baru dari sebuah rumah yang oleh
pemilik sebelumnya diikatkan dalam suatu perjanjian sewa menyewa,
terikat untuk meneruskan perjanjian sewa menyewa.
Dalam suatu perjanjian orang tidak dapat secara umum mengatakan siapa
yang berkedudukan sebagai kreditur/debitur seperti pada perjanjian
timbal balik (contoh jual beli). Si penjual adalah kreditur terhadap
uang harga barang yang diperjual belikan, tetapi ia berkedudukan sebagai
debitur terhadap barang (objek prestasi) yang perjualbelikan. Demikian
sebaliknya si pembeli berkedudukan sebagai debitur terhadap harga barang
kreditur atas objek prestasi penjual yaitu barang yang
diperjualbelikan.
Ad. 3. Harta kekayaan
Harta kekayaan sebagai kriteria dari adanya sebuah perikatan. Tentang
harta kekayaan sebagai ukurannya (kriteria) ada 2 pandangan yaitu
:
- Pandangan klasik : Suatu hubungan dapat dikategorikan sebagai
perikatan jika hubungan tersebut dapat dinilai dengan sejumlah uang
- Pandangan baru : Sekalipun suatu hubungan tidak dapat dinilai dengan
sejumlah uang, tetapi jika masyarakat atau rasa keadilan menghendaki
hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukum akan meletakkan akibat
hukum pada hubungan tersebut sebagai suatu perikatan
Ad. 4. Prestasi (objek perikatan)
Prestasi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Prestasi merupakan
objek perikatan. Dalam ilmu hukum kewajiban adalah suatu beban yang
ditanggung oleh seseorang yang bersifat kontraktual/perjanjian
(perikatan). Hak dan kewajiban dapat timbul apabila terjadi hubungan
antara 2 pihak yang berdasarkan pada suatu kontrak atau perjanjian
(perikatan). Jadi selama hubungan hukum yang lahir dari perjanjian itu
belum berakhir, maka pada salah satu pihak ada beban kontraktual, ada
keharusan atau kewajiban untuk memenuhinya (prestasi).
Selanjutnya kewajiban tidak selalu muncul sebagai akibat adanya
kontrak, melainkan dapat pula muncul dari peraturan hukum yang telah
ditentukan oleh lembaga yang berwenang. Kewajiban disini merupakan
keharusan untuk mentaati hukum yang disebut wajib hukum
(rechtsplicht) misalnya mempunyai sepeda motor wajib membayar pajak sepeda motor, dll
Bentuk-bentuk prestasi (Pasal 1234 KUHPerdata) :
- Memberikan sesuatu;
- Berbuat sesuatu;
- Tidak berbuat sesuatu
Memberikan sesuatu misalnya pemberian sejumlah uang, memberi benda
untuk dipakai (menyewa), penyerahan hak milik atas benda tetap dan
bergerak. Berbuat sesuatu misalnya membangun rumah. Tidak melakukan
sesuatu misalnya A membuat perjanjian dengan B ketika menjual apotiknya,
untuk tidak menjalankan usaha apotik dalam daerah yang sama. Ketiga
prestasi diatas merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
debitur.
Ketiga prestasi diatas mengandung 2 unsur penting :
- Berhubungan dengan persoalan tanggungjawab hukum atas pelaksanaan prestasi tsb oleh pihak yang berkewajiban (schuld).
- Berhubungan dengan pertanggungjawaban pemenuhan tanpa memperhatikan
siapa pihak yang berkewajiban utk memenuhi kewajiban tsb (Haftung)
Syarat-syarat prestasi :
- Tertentu atau setidaknya dapat ditentukan;
- Objeknya diperkenankan oleh hukum;
- Dimungkinkan untuk dilaksanakan
Schuld adalah kewajiban debitur untuk membayar utang sedangkan
haftung adalah kewajiban debitur membiarkan harta kekayaannya diambil
oleh kreditur sebanyak hutang debitur, guna pelunasan hutangnya apabila
debitur tidak memenuhi kewajibannya membayar hutang tersebut.
Setiap kreditur mempunyai piutang terhadap debitur. Untuk itu
kreditur mempunyai hak menagih hutang piutang tersebut. Di dalam ilmu
pengetahuan hukum perdata, disamping hak menagih hutang
(vorderingsrecht), apabila debitur tidak memenuhi kewajiban membayar
hutangnya maka kreditur mempunyai hak menagih kekayaan debitur sebesar
piutangnya pada debitur itu (verhaalsrecht).
C. Tempat pengaturan perikatan
1. Buku III KUHPerdata
Sistematikanya :
a) Bagian umum :
1) Bab I Perikatan pada umumnya
2) Bab II Perikatan yang timbul dari perjanjian
3) Bab III Perikatan yang timbul dari UU
4) Bab IV Hapusnya perikatan
b) Bagian khusus
1) Bab V Jual beli dst …. BAB XVII
2) Bab XVIII Perdamaian
2. Jika ketentuan bagian umum bertentangan dengan ketentuan khusus, maka yang dipakai adalah ketentuan yang khusus.
D. Sistem Hukum Perikatan
Sistem hukum perikatan adalah terbuka. Artinya, KUHPerdata memberikan
kemungkinkan bagi setiap orang mengadakan bentuk perjanjian apapun,
baik yang telah diatur dalam undang-undang, peraturan khusus maupun
perjanjian baru yang belum ada ketentuannya. Sepanjang tidak
bertentangan dengan Pasal 1320 KUHPerdata. Akibat hukumnya adalah,
jika ketentuan bagian umum bertentangan dengan ketentuan khusus, maka
yag dipakai adalah ketentuan yang khusus, misal: perjanjian kos-kosan,
perjanjian kredit, dll.
Pasal 1320 KUHPerdata mengatur tentang syarat sahnya perjanjian yaitu :
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (tidak ada paksaan, tidak ada keleiruan dan tidak ada penipuan)
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ; (dewasa, tidak dibawah pengampu)
- Suatu hal tertentu (objeknya jelas, ukuran, bentuk dll)
- Suatu sebab yang halal; (tidak bertentangan dengan ketertiban, hukum/UU dan kesusilaan)
Bagaimana jika Pasal 1320 KUHPerdata tersebut dilanggar ?
Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada subjeknya yaitu syarat :
1). sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan 2) kecakapan untuk
bertindak, tidak selalu menjadikan perjanjian tersebut menjadi batal
dengan sendirinya (
nietig) tetapi seringkali hanya memberikan kemungkinan untuk dibatalkan (
vernietigbaar),
sedangkan perjanjian yang cacat dalam segi objeknya yaitu : mengenai 3)
segi “suatu hal tertentu” atau 4) “suatu sebab yang halal” adalah
batal demi hukum.
Artinya adalah jika dalam suatu perjanjian syarat 1 dan 2 dilanggar
baru dapat dibatalkan perjanjian tersbeut setelah ada pihak yang merasa
dirugikan mengajukan tuntutan permohonan pembatalan ke pengadilan.
Dengan demikian perjanjian menjadi tidak sah.
Lain hal jika syarat 3 dan 4 yang dilanggar maka otomatis perjanjian
tersebut menjadi batal demi hukum walaupun tidak ada pihak yang merasa
dirugikan.
Maka dapat disimpulkan suatu perjanjian dapat terjadi pembatalan karena :
- Dapat dibatalkan, karena diminta oleh pihak untuk dibatalkan
dengan alas an melanggar syarat 1 dan 2 pasal 1320 KUHPerdata.
- Batal demi hukum, karena melanggar syarat 3 dan 4 pasal 1320 KUHPerdata
E. Sifat Hukum Perikatan
- Sebagai hukum pelengkap/terbuka, dalam hal ini jika para pihak
membuat ketentuan sendiri, maka para pihak dapat mengesampingkan
ketentuan dalam undang-undang.
- Konsensuil, dalam hal ini dengan tercapainya kata sepakat di antara para pihak, maka perjanjian tersebut telah mengikat.
- Obligatoir, dalam hal ini sebuah perjanjian hanya menimbulkan
kewajiban saja, tidak menimbulkan hak milik. Hak milik baru berpindah
atau beralih setelah dilakukannya penyerahan atau levering.
F. Isi Perikatan
Dalam hal ini berkaitan prestasi. Suatu prestasi harus memenuhi syarat-syarat . Adapun syarat-syarat prestasi sebagai berikut :
- Tertentu atau setidaknya dapat ditentukan (prestasi tertentu)
- Dimungkinkan untuk dilaksanakan (prestasi tidak disyaratkan harus mungkin dipenuhi)
- Objeknya diperkenankan oleh hukum (prestasi yang halal)
Ad. 1. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat-syarat sahnya
perjanjian mengatur tentang prestasi tertentu yaitu yang ke 3 “hal
tertentu” (een bepaalde onderwerp), yang maksudnya tidak lain adalah
bahwa objek perikatan yaitu prestasi dan objeknya prestasinya (zaak =
benda) harus tertentu. Sedangkan apa yang dimaksud dengan tertentu dalam
Pasal 1333 KUHPerdata memberikan penjabarannya lebih lanjut. Disana
ditentukan paling tidak, jenis barangnya harus sudah tertentu, sedangkan
mengenai jumlahnya asal nantinya dapat ditentukan atau dihitung. Kalau
dipenuhi syarat tersebut, maka dianggaplah bahwa objek prestasinya sudah
tertentu. Ini berlaku pada perikatan yang lahir dari perjanjian.
Sedangkan perikatan yang lahir undang-undang sudah ditentukan dengan
pasti prestasinya (sudah tertentu).
Sebagaimana diketahui tentang “tertentu”, tidaklah harus disyaratkan
ditentukan secara rinci dalam semua seginya. Bahwa semula prestasi itu
“belum tertentu” tidak apa-apa karena syaratnya asal kemudian dapat
ditentukan (bepaaldbaar bukan bepaald). Penegasan lebih lanjut yang
membuat prestasi menjadi tertentu bisa para pihak itu sendiri, bisa juga
pihak ke 3 (Pasal 1465 KUHPerdata), bisa juga keputusan hakim (1356,
1601 KUHPerdata) atau dalam keadaan lain, misalnya pada jual beli dengan
ketentuan harga pasar pada saat penyerahan.
Ad. 2. Disini yang paling penting dan yang dapat dipakai sebagai
ukuran adalah apakah kreditur itu tahu bahwa debitur tidak bisa
memenuhinya ? Kalau kreditur tahu, bahwa itu memang tidak miungkin maka
kita boleh menganggap bahwa kreditur tidak memperhitungkan kewajiban
prestasi dengan serius (niet ernstig bedoel) dan karenanya perikatan itu
batal, demikian ditafisrkan oleh pengadilan-hakim). Lain halnya kalau
debitur tidak tahu, bahwa prestasi itu tidak mungkin terpenuhi. Dalam
hal—dalam bayangan kreditur—isi perjanjian adalah sesuatu yang mungkin,
kemudian ternyata dalam pelaksanaannya adalah tidak mungkin, maka
debitur tetap harus bertanggungjawab untuk membayar ganti rugi kepada
kreditur.
Ad. 3. Disini berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian Pasal 1320 ke
4 yaitu suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum (lihat juga Pasal 1337 KUHPerdata).
Jika bertentangan dengan ketentuan diatas maka perikatan tersebut batal
demi hukum.